Senin, 14 Desember 2009

Malaysia Minta Maaf


akarta - Pemerintah Malaysia akhirnya minta maaf kepada pemerintah Indonesia sehubungan dengan ulah angkatan perangnya yang melakukan provokasi di Ambalat. Permintaan maaf tersebut disampaikan Panglima Angkatan Laut Malaysia Laksamana Abdul Aziz Jaafar kepada lima anggota Komisi I DPR RI yang dipimpin Yusron Ihza Mahendra. “Maaf, jika kami dinilai melanggar wilayah Indonesia. Kami juga minta maaf, jika ada sikap prajurit Malaysia yang memprovokasi,” katanya.
Panglima AL Malaysia itu menjamin kejadian serupa tidak akan terulang. Jaafar juga berjanji tidak akan menempatkan kapal selam Scorpene di kawasan laut Ambalat untuk provokasi atau unjuk gigi kepada Indonesia. Sementara itu di Jakarta, Angkatan Tentara Malaysia dan Menhankam RI sepakat mengurangi patroli laut yang terlalu dekat dengan wilayah teritorial Indonesia di perairan Ambalat. “Supaya persepsi pelanggaran wilayah dapat dikurangi,” kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono seusai bertemu Panglima Angkatan Tentara Malaysia Jenderal Abdul Azis Zainal di kantor Departemen Pertahanan, Jakarta, Rabu (10/6).

Usai pertemuan yang berlangsung sekitar 30 menit itu, Abdul Azis langsung meninggalkan tempat didampingi Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso tanpa memberikan keterangan kepada pers.
Juwono menjelaskan, Indonesia meminta diadakan patroli perbatasan perairan bersama tanpa mengabaikan aturan pelibatan yang sudah dilaksanakan kedua angkatan laut sejak 2005, sehingga kapal perang kedua negara mengamankan wilayah lautnya dengan tidak mendekati batas laut teritorial masing-masing negara. “Pola patroli serupa telah diterapkan Indonesia dengan Australia,” katanya.
Juwono mengakui, Abdul Aziz berkunjung ke Indonesia untuk meredam kisruh yang terjadi di Ambalat, dua pekan terakhir. “Beliau datang dengan tulus hati,” tuturnya. Malaysia mengaku tidak ada niatan untuk melanggar batas wilayah perbatasan. Keberadaan kapal militer dan kapal patroli polisi Malaysia di Ambalat dalam rangka patroli keamanan wilayah maritim.
“Tidak ada maksud untuk masuk ke wilayah kedaulatan Indonesia,” kata mantan Duta Besar Indonesia di Inggris itu. Juwono menjelaskan, sengketa itu disebabkan Malaysia mempunyai garis pangkal yang berbeda, berdasarkan peta 1979. Negeri Jiran juga klaim konsesi minyak dan gas di wilayah yang sama. Saling klaim hak konsesi itu masuk wilayah zona hak daulat. “Justeru di daerah itu yang paling sensitif. Sering terjadi selisih paham,” katanya.
Hak daulat adalah hak untuk memberikan konsesi pada perusahaan pengelola sumber daya alam dan gas. Masing-masing pihak memberi izin untuk mengolah di wilayah yang sama. Indonesia telah memberikan konsesi minyak pada Unocal dan ENI, sedangkan Malaysia digarap Petronas. “Kami hormati hak daulat masing-masing,” tandasnya.
Dia mengatakan, Departemen Luar Negeri sedang mengolah perundingan teknis guna menentukan garis batas maritim Indonesia. Selain itu, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, TNI Angkatan Laut, dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mengkaji di mana titik batas maritim Malaysia yang bertentangan dengan Indonesia.
Kedubes Malaysia Didemo
Sementara itu di tempat terpisah sekitar 100 orang dari Grup Indonesai Berdaulat dan buruh migran mendemo Kedutaan Besar Malaysia, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (10/6). Tampak ikut hadir Manohara Odelia Pinot, istri Tengku Fakhry yang merasa didzalimi keluarga Kerajaan Kelantan, Malaysia itu.
Para buruh migran itu mengutuk aksi provokatif Malaysia yang mengganggu kedaulatan Indonesia dan sikap sewenang-wenang terhadap Tenaga Kerja Indonesia. Grup Indonesia Berdaulat adalah grup yang dibentuk para pengguna facebook untuk mendiskusikan berbagai masalah yang memiliki relasi terhadap kedaulatan Indonesia.
Para pendemo membawa spanduk bertuliskan kecaman terhadap Malaysia, seperti “Caplok Ambalat, Perang”, “Boikot Produk Malaysia”, dan “Stop Pelecehan terhadap Indonesia”.
Salah satu orator, Abidin Fikri, mendesak Malaysia menghentikan tindakan yang menciderai kedaulatan Indonesia, seperti mengakui wilayah Ambalat. Ia mengatakan, siapa pun kepala negara Indonesia yang akan terpilih, harus menjaga batas negara dan menghentikan berbagai kasus penyiksaan terhadap TKI di Malaysia. “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati,” tandasnya.

Adhitya CU | Rizky A Pohan
Jurnal Bogor, 11 June 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar